Menteri pendidikan dan kebudayaan Ristek Nadiem Anwar Makarim berkata Jika saat ini homogen-homogen pendanaan setiap perguruan tinggi pada Indonesia masih jauh dibandingkan negara lain.
“Kenyataannya kita harus menyadari bahwa Indonesia masih jauh dibandingkan negara lain dari sisi pendanaan pendidikan tinggi kita,” istilah Nadiem Makarim di acara Merdeka Belajar: Dana kekal Perguruan Tinggi pada Jakarta
berasal pemaparannya, homogen-rata pengeluaran pendanaan perguruan tinggi pada Indonesia di 2022 baru sebesar USD dua.000. Masih lebih rendah asal India sebanyak USD 3.000, Malaysia USD 7.000, Jepang USD 8.000 bahkan Singapura senilai USD 15.000.
Beliau membandingkan Indonesia dengan India. Negara yang jumlah populasi jauh lebih besar dengan tingkat kemiskinan yg cukup tinggi tetapi memiliki homogen-homogen pengeluaran perguruan tinggi per lulusan, satu 1/2 kali lebih akbar dari Indonesia. Bahkan menggunakan negara jiran mirip Malaysia, Indonesia juga masih tertinggal
Nadiem mengingatkan Bila investasi pendidikan tinggi mempunyai akibat terbesar serta tercepat asal semua investasi pendidikan untuk membentuk ekonomi dan negara.
“Mungkin jika kita mau melihat jangka panjang investasi pendidikan PAUD serta lain itu lebih akbar namun jikalau kita mau akibat yang lebih cepat lebih dirasakan pendidikan tinggi ialah antara cara tercepat buat membangun ekonomi kita buat menciptakan negara kita,” lanjut Nadiem Makarim.
Kualitas Pendidikan Perguruan Tinggi Indonesia Masih Tertinggal
ketua umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTSI) Edy Suandi Hamid menyebut pertumbuhan jumlah perguruan tinggi pada Indonesia membeludak pada sepuluh tahun terakhir. Sayangnya, peningkatan kualitas itu tidak disertai membaiknya kualitas pendidikan tinggi.
Indonesia, istilah Edy, masih tertinggal jauh asal Malaysia, Singapura, bahkan Brunei Darussalam.
“Tidak terdapat satu pun perguruan tinggi kita yang masuk peringkat 300 akbar global,” kata Edy pada Menara Kadin, Kamis, 4 Juni 2015.
berdasarkan Edy, alasan perguruan tinggi Indonesia masih kalah bersaing artinya sebab kampus lebih poly mengajarkan teori dibanding praktek.
Beban teori pada perguruan tinggi Indonesia mencapai 80 persen, sisanya ilmu yang dapat diaplikasikan.
Padahal, istilah Edy, negara lain justru menitikberatkan di praktek. misalnya, Korea yang perguruan tingginya mengajarkan 60 persen ilmu perangkat lunak.
Akibatnya, lulusan perguruan tinggi Indonesia sulit bersaing. “Perusahaan butuh saat usang mendidik sarjana Indonesia yang lebih banyak memahami teori,” ucap Edy.
Selain itu, Edy menyayangkan pemerintah tidak membentuk perencanaan energi kerja nasional.
Pemerintah, istilah Eddy, tidak pernah memetakan sarjana pada bidang apa yg paling dibutuhkan dunia kerja dan berapa jumlahnya.
“Akhirnya permintaan dan suplai tak match,” istilah Edy. “misalnya yg diharapkan engineer tapi sarjana yg poly tersedia artinya sarjana ekonomi.”