Tahun ajaran baru biasanya orangtua murid berebut untuk mendaftarkan anak mereka  ke sekolah favorit, namun hal berbeda terlihat di Sekolah Dasar Luar Biasa Tuna Netra di bilangan Jalan Tegalsari Surabaya. Untuk tahun ini SDLB ini hanya menerima lima murid untuk kelas 1 SD.

“Jumlah ini sebenarnya terlalu sedikit. Anak usia sekolah penyandang tuna netra di Surabaya sebenarnya jumlah lebih dari itu,” kata Nurul Gimawati Kepala Sekolah SD Luar Biasa untuk tuna netra, Senin (11/7/2011).

Nurul menambahkan, fenomena rendahnya anak dengan tuna netra yang bersekolah bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Karena bisa jadi, masih banyak anak penderita cacat yang tidak disekolahkan karena orangtuanya malu mempunyai anak yang cacat.

Sebagai contoh, Nurul pernah menjumpai seorang penyandang tuna netra yang baru disekolahkan pada saat usianya sudah mencapai 11 tahun.

Si orangtua anak mempunyai anak yang tuna netra. Sehingga mereka pun lebih memilih mengurung anaknya dalam rumah dibandingkan dengan menyekolahkan.

Akhirnya, si anak itu pun disekolahkan. Namun yang menyekolahkan bukan orangtuanya melainkan tantenya yang prihatin dengan perkembangan anak tersebut.

“Sampai dengan tiga tahun bersekolah, saya belum pernah ketemu dengan orangtuanya,” ujar Nurul.

Untuk itu, Nurul meminta kepada orangtua yang mempunyai anak cacat tidak perlu malu untuk menyekolahkan mereka. Sebagai bentuk memberikan pemahaman, Nurul biasanya melakukan pendekatan secara personal kepada orangtua siswa.

Baca Juga: 5 Jurusan Politeknik Anti Mainstream dengan Gaji Menjanjikan

“Saya biasanya mengajak mereka untuk membuat acara kumpul-kumpul di sekolah. Misalnya memasak dengan anak mereka, sekaligus melatih anak menjadi mandiri. Kalau orangtuanya sudah meninggal, mau tak mau mereka kan juga harus mandiri,” ujar Nurul.